Wikan Sakarinto: Pak Jokowi Ingin Pendidikan Vokasi Lahirkan SDM Siap Kerja

Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), resmi berdiri pada 31 Desember 2019. Lahir saat pergantian tahun, Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud menjadi harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menekan angka pengangguran terbuka berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Per Februari tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan, menepatkan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di posisi teratas dalam menyumbang angka pengangguran, persentase mencapai 8,49 persen.
Dekan Program Pendidikan Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wikan Sakarinto kemudian ditunjuk memimpin Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud. Wikan diharapkan mampu memenuhi keinginan Jokowi menekan angka pengangguran lulusan SMK dengan menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang kompeten dan siap kerja melalui pendidikan vokasi. Kalau kita melihat ke belakang, Pak Jokowi sangat berharap pendidikan Vokasi melahirkan SDM yang nanti akan lebih siap kerja, lebih berkompeten dan sebagainya. Jadi Pak Jokowi sering batch marking dengan sekolah vokasi di Jerman dan negara negara maju. Negara negara maju itu mempunyai karakteristik vokasi yang kuat dan link and match dengan industri, itu menguatkan dan memajukan bangsa mereka serta teknologi mereka.
Industri juga sangat berharap bahwa lulusan perguruan tinggi vokasi atau SMK, itu nanti lebih siap kerja. Industri butuh SDM untuk bertumbuh kembang. Benar dari Pak Jokowi, industri juga membutuhkan lulusan yang berkompeten dan siap kerja. Pemerintah sepertinya melihat perlu ada Direktorat Jenderal khusus yang nanti menangani pendidikan vokasi ini baik di tingkat perguruan tinggi, SMK dan kursus pelatihan. Itu semua kemudian dikelola dalam Dirjen baru. Ini semua berlaku untuk seluruh perguruan tinggi vokasi, ada politeknik, ada universitas, yang memiliki diploma 1, diploma 2, D3 dan D4, S1 terapan, S2 terapan, hingga tingkat doktor.
Advokasi yang paling bawah juga ada, lembaga kursus dan pelatihan. Kalau SMK 14 ribu, di lembaga kursus dan pelatihan ada 17 ribu. Training yang satu tiga bulan, yang kompetensinya langsung dan praktis dibutuhkan dunia kerja. Ini kejuruan kejuruan yang langsung spesifikasi, ada teknik seperti STM, perhotelan, pariwisata, tata boga, fashion, penerbangan, desain grafis, ini yang spesifik. Poinnya begini, setelah ini kita kelola, kami memiliki strategi khusus, yaitu link and match. Jadi seluruh kampus vokasi, SMK, lembaga kursus dan pelatihan, harus link and match dengan industri dan dunia kerja. Ini adalah kebijakan utama Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. Link and match ini tidak hanya sekadar tanda tangan MoU, foto foto kemudian masuk koran, tidak.
Itu ibarat orang berhubungan, pacaran saja belum, baru kenalan. Link and match kami tidak hanya sekadar pacaran, tapi sampai menikah levelnya. Jadi ada paket link and match itu lima minimal, kurikulum dibikin bersama, dosen tamu dan guru tamu minimal 50 jam per semester. Industri mengajar di kampus atau di SMK. Magang dari awal sudah dirancang, jangan sampai tiba tiba industri cuma disodori magang suruh nerima tidak, dari awal sudah dirancang. Sekolah, kampus dan industri sudah merancang. Kemudian ada sertifikasi kompetensi bagi lulusan. Yang jelas ada komitmen menyerap lulusan (sekolah vokasi) walau tidak wajib. Ini paket link and match level menikah yang kami rancang, tambah satu lagi, mengembangkan teaching facotry. Jadi teaching industry masuk ke dalam kurikulum.
Benar, sangat tepat. Jangan sampai lulusan, diterima di dunia kerja harus dilakukan training ulang. Buang duit, buang waktu, buang tenaga. Lebih baik kurikulum training industri ini masuk menjadi kurikulum pendidikan di SMK atau kampus vokasi, ikut mengajar juga orang orang industrinya. Itu kan enak sekali. Banyak anggapan di masyarakat, kalau saya mau pintar dan jadi pejabat, mestinya SMA, tidak SMK?SMA atau SMK atau memilih akademik atau vokasi itu sama sama baik. Dengan catatan, harus passionate. Harus ada ketertarikan pada bidang ilmunya, bahagia belajar di situ plus punya visi ke depan mau ngapain. Mau masuk kampus vokasi atau akademik S1, SMA atau SMK, dua duanya bisa jadi pemimpin. Pemimpin itu tidak hanya technical skill, tapi juga harus punya soft skill, leadership dan managerial. Itu yang buat mereka jadi pemimpin. Mau menggunakan ilmu vokasi ataupun akademik, keduanya butuh soft skill. Jadi pemimpin bisa saja dari vokasi.
Anak anak SD belajar keras untuk mendapatkan nilai tinggi agar masuk ke SMP favorit. Ini yang menurut saya kurang tepat, karena bukan masalah sekolah favorit itu, melainkan belajar dengan passion tadi. Jangan sampai anak anak kita sejak SD atau SMP memahami bahwa belajar itu adalah berkompetisi untuk mendapatkan nilai yang tinggi agar diterima di sekolah favorit. Itu membuat anak anak kita tidak siap passion dan soft skillnya. Karena hanya mengejar kognitif, nilai tinggi agar bisa masuk sekolah favorit. Ketika nanti sudah masuk SMP, akan memilih SMA atau SMK, tentukan dulu apakah dia cocok dulu. Bila dia cocok pada hal hal yang analitik, maka dia harus masuk ke SMA.
Tapi kalau dia cocoknya lebih ke hands on, praktikal, tapi tetap ada teorinya ya, masuklah SMK bisa sampai ke D4 atau bisa sampai ke S2 terapan di Jerman atau di Taiwan dan sebagainya. Ini dibutuhkan peran orang tuanya untuk mengetahui passion anak itu, apa cita citanya, serta bagaimana menentukan studi anak itu berdasarkan fakta itu. Jangan dibilang masuk sekolah favorit itu jaminan sukses, belum tentu. Kalau tidak punya passion dan visi misi, tidak jelas. Sangat tepat jangan dipaksakan. Jangan sampai misal mau jadi dokter, ditanya kepada si anak apa pekerjaan dokter itu apa. Si anak berangan angan bahwa dokter bisa mengobati dan bisa menyuntik.
Sebatas itu yang baru dipahami, tanpa mengetahui bahwa dokter itu ada spesialisasi, harus tiap malam tidur di rumah sakit. Cocok tidak ini dengan passion si anak hidup seperti itu. Atau jangan jangan si anak tidak tahu apa hobinya, misal menyelam. Kita bisa mengkaitkan hobi itu dengan kompetensi mengelas. Begini, jadilah tukang las yang bisa mengelas bangunan bangunan atau kapal di dalam air. Itu per jam bayarannya 500 dollar AS. Sebulan bisa mengelas berapa jam? kalikan saja jumlah Rp 14 ribu dengan 500 dollar AS itu dengan jumlah jam kerja. Orang tua ini juga perlu diberikan wawasan, bahwa masa depan itu perubahannya akan sangat luar biasa. Banyak kompetensi baru yang lahir, job job baru yang lahir. Jangan melihat masa depan itu dengan kacamata di masa kini atau di masa kebelakang.